Tanda-tanda
Indonesia yang menunjukkan akhir dari masa transisi melihat banyak praktek orde
baru yang mulai kearah politik demokrasi. Kegagalan Timor Timur dan pemilihan
Abdurrahman Wahid sebagai penerus Habibie pada Oktober 1999 tampaknya
melambangkan awal dari sebuah fase baru dalam politik post authotitarian di mana
praktek-praktek tersebut tidak lagi diterapkan dalam bentuk tradisional, namun
perlu berasimilasi dengan morma-norma dan aturan kompetisi demokrasi. Di atas
kertas, kenaikan Abdurrahman Wahid ke kursi
kepresidenan meningkatkan prospek
untuk percepatan reformasi sipil-militer. Untuk memulainya, pembentukkan
eksekutif yang dipilih secara demokratis sejak 1955 menghapus segmen yang besar
dari elit orde baru dari pemerintah. Akhirnya, presiden baru juga tampaknya
memiliki mandat politik yang diperlukan untuk mempercepat reformasi militer.
Abdurrahman Wahid secara luas dianggap sebagai pembaharu demokrasi, meskipun
perannya controversial di akhir politik orde baru.
Pada
bulan-bulan pertama di masa pemerintahannya, Wahid mengambil serangkaian
langkah untuk melaksanakan control sipil terhadap militer dan mengendalikan
tentara. Penggantian beberapa jenderal tentara yang telah naik ke permukaan dan
menjadi terkenal di bawah pemerintahan Soeharto ditujukan untuk pemutusan
dengan orde baru yang tidak dicapai Habibie. Wahid telah mengidentifikasikan
Wiranto sebagai kendala utama reformasi militer lebih lanjut dan akibatnya
menghancurkan jaringan patronase yang terakhir menyebar ke seluruh hirarki TNI.
Dalam konteks ini, ia meminta kepercayaannya, Matori Abdul Djalil, ketua NU
yang berafiliasi PBK (Partai Kebangkitan Bangsa), untuk datang dengan daftar perwira
militer yang bisa diharapkan untuk memimpin dalam pembenahan struktur
kelembagaan TNI. Indikasi yang paling penting dari keseriusan Wahid dalam
mendorong reformasi angkatan bersenjata adalah dorongan dari perdebatan
mengenai masa depan struktur komando territorial.
Lingkup
upaya reformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya memicu fragmentasi elit
militer yang paling ekstensif sejak Mei 1998. Pasukan kepemimpinan di sekitar
Wiranto relatif homogen selama peralihan Habibie. Chandra dan Kammen (2002:114)
mencatat bahwa fraksi yang dipimpin oleh Agus Wirahadikusumah hampir seluruhnya
terdiri dari anggota militer angkatan 1973. Sikap reformis dari lulusan 1973
itu berupaya untuk mematahkan monopoli posisi teratas. Penjelasan ini
dipertanyakan karena beberapa alasan. Pertama, sikap reformis Wirahadikusumah
dan beberapa rekan-rekannya bisa ditelusuri kembali setidaknya ke 1980-an.
Kedua, banyak reformis angkatan 1973, termasuk Wirahadikusumah, berada di jalur
untuk promosi ke posisi senior ketika perpecahan dalam jajaran terjadi. Ketiga,
beberapa tokoh lulusan tahun 1973tidak termasuk ke dalam kelompok reformis yang
cepat, seperti Yudhoyono dan Ryamizard Ryacudu, yang menjadi anggota dari
fraksi yang berbeda. Keempat, Chandra dan Kammen yang berlebihan penekanan pada
teknis aspek pola promosi mengabaikan sikap politik dan pribadi perwira senior
yang memncerminkan latar belakang keluarga individu, kondisi sosial ekonomi,
dan perkembangan intelektual. Kombinasi faktor yang terakhir memainkan peran
yang lebih besar dalam menentukan posisi konseptual dibandingkan dengan
referensi yang tidak meyakinkan untuk perombakan pola.
CRITICAL REVIEW
Tulisan The Politics of Military Reform in Post-Soeharto
Indonesia berisi tentang reformasi paska era Soeharto yang banyak
menceritakan kebijakan presiden keempat Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid.
Dalam masa transisi reformasi, presiden Abdurrahman Wahid seringkali
mengeluarkan kebijakan yang berani dan cenderung kontroversial. Abdurrahman
Wahid atau ang lebih dikenal dengan Gus Dur memiliki keputusan yang berani
untuk mengubah sistem yang sudah ada. Arus reformasi, semenjak pergantian
pemerintahan ke tangan Gus Dur, mengalami peningkatan dibandingkan era Habibie.
Gebrakan-gebrakan yang dilakukan Gus Dur dapat dikatakan cukup berani dan
spektakuler. Langkah terpentingnya dalam mewujudkan reformasi tercermin dari
demiliterisasi politik. Kebijakan Gus Dur lebih kepada menghalau militerisasi
untuk masuk ke ranah politik terlalu jauh. Gus Dur sepertinya berkeinginan
untuk membangun serta memperbaiki konsep hubungan sipil dan militer, agar dapat
mengedepankan demokrasi di Indonesia. Namun, usaha Gus Dur dalam menghalau
militer dari ranah politik tidaklah mudah. Tantangan dan reaksi keras selalu
beliau dapatkan dari berbagai pihak, baik dari sisi militer maupun dari
politisi-politisi sipil. Adanya keterlibatan militer pada politik pada saat itu
memang dapat terlihat dari kekerasan politik semasa pemerintahan sebelumnya,
era Habibie. Seperti misalnya penempatan tank-tank Kostrad dan mariner di
sekitar gedung MPR-DPR.
Salah satu kebijakan Gus Dur dalam control sipil adalah pergeseran
posisi di tubuh militer, yaitu menempatkan Laksamana Widodo sebagai panglima
TNI. Kebijakan ini dianggap sebagai upaya menciptakan tradisi baru dalam
pengisian jabaan di tubuh TNI yang selama ini menjadi jatah Angkatan Darat.
Menurut sejarah, posisi panglima TNI sejak proklamasi hingga orde baru selalu
diperuntukkan ke Angkatan Darat. Sehingga muncul asumsi bahwa TNI AD berpeluang
paling besar dalam mempolitisasi militer. Kebijakan lain adalah pencopotan
Jenderal TNI Wiranto dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.
Kebijakan ini diambil karena Wiranto diduga terlibat dalam pelanggaran HAM di
Timor Timur. Kebijakan tersebut dan tentu masih banyak kebijakan-kebijakan Gus
Dur lainnya yang kontroversial membuat hubungan presiden dengan TNI semakin
tegang. Puncaknya, ketika Agus Wirahadikusumah diangkat menjadi Pangkostrad,
dianggap sebagai bentuk campur tangan presiden ke dalam urusan yang menjadi
otoritas TNI.
Kebijakan-kebijakan Abdurrahman Wahid yang saat itu seringkali
dikatakan “seenaknya sendiri” mungkin memang benar adanya. Gus Dur hampir
selalu mengambil kebijakan tanpa mendapat persetujuan lembaga tertinggi
militer, yaitu mabes TNI, dan juga tanpa persetujuan DPR.
Desakan kuat dari masyarakat yang tidak lagi menghendaki militer
berpolitik sedikit mampu melahirkan reformasi di tubuh TNI. Berbagai fenomena
yang terjadi sepanjang berlangsungnya reformasi internal TNI saat itu, sangat
menarik untuk diteliti guna mengungkap keadaan yang sesungguhnya. Dalam konteks
ini, muncul sejumlah asumsi menarik untuk dikembangkan. Misalnya mengenai bagaimana
dan sejauh mana hubungan militer dengan gerakan reformasi, serta perubahan
politik apa saja yang terjadi saat itu. Kaitannya dengan pola hubungan
sipil-militer baru di Indonesia, diperoleh informasi bahwa kesadaran kalangan
militer dalam melihat realitas masyarakat yang tidak lagi mendukung rezim
kekuasaan orde baru pimpinan Soeharto, telah melahirkan kesepakatan kolektif
untuk mendukung proses reformasi nasional secara konstitusional.
Meski hubungan sipil-militer saat itu berlangsung baik, dan
terjadi proses saling memanfaatkan pada era reformasi, tampak supremasi sipil
terhadap militer tetap tidak utuh. Hal itu terlihat dari besarnya
ketergantungan otoritas sipil pada dukungan militer. Masih lemahnya supremasi
sipil terhadap militer tersebut, terlihat dari sikap otoritas sipil pasca
reformasi ketika senantiasa melibatkan militer dalam proses kebijakan politik
nasional yang terkait dengan kepentingan militer. Di sisi lain, kondisi
hubungan sipil-militer di Indonesia pasca soeharto (1998-2004) justru
menunjukkan model baru hubungan sipil-militer. Hubungan sipil-militer seperti
yang dipraktikkan oleh tiga pemerintahan pasca Soeharto, ternyata hanya
melahirkan kendali sipil atas militer yang masih semu dan tidak mutlak,
meskipun jauh lebih baik dari masa sebelum reformasi.
Segmentasi dalam kelompok militer pasca reformasi memunculkan
proses saling tarik ulur di antara kelompok-kelompok dalam militer, sehingga
dalam beberapa kasus memberi imbas pada munculnya fenomena-fenomena politik
tertentu. Dominasi angkatan darat yang tidak sehegemonik pada zaman orde baru
merupakan implikasi yang cukup penting dari kemunculan segmentasi dalam
internal militer. Di sini implikasi politis dari fenomena tersebut cukup
menarik untuk dianalisa, Karena segmentasi itu pada kenyataannya juga memberi
peluang kepada para elit politisi sipil untuk saling berebut dukungan politis
dari kelompok militer tertentu.
Dalam tulisan ini, penulis juga membahas mengenai jatuhnya Gus Dur
dari kursi kepresidenan yang berimplikasi terhadap perubahan peta politik
secara nasional. Gejolak politik pada masa presiden Abdurrahman Wahid serta kejatuhan
pemerintahannya, merupakan salah satu fenomena politik yang lahir dari imbas
dinamika internal militer. Hubungan pemerintah sipil masa Abdurrahman Wahid
yang kurang harmonis dengan salah satu kelompok besar di militer, mengakibatkan
kejatuhan pemerintahan yang tidak berumur lama itu. Naiknya megawati ke tampuk
kekuasaan, memberikan harapan untuk memandu reformasi kea rah yang lebih baik,
walau kenyataannya Megawati masih menyertakan ekspresi militer di beberapa
kebijakannya.
Daftar Pustaka
Andrias, Mohammad Ali. 2011. Politik Militer Transisi Pasca
Reformasi. http://mega.subhanagung.net/politik-militer-transisi-pasca-reformasi-kekuatan-politik-yang-menghiasi-perpolitikan-indonesia/.
Diakses Pada 4 April 2013.
Idhom. 2005. Reformasi TNI. http://www.ruangbaca.com/resensi/?action
=b3Blbg==&linkto=OTc=.&when=MjAwNTEyMDg=. Diakses pada 3April 2013.
Haramain, A. Malik. 2004. Gus Dur, Militer, dan Politik.
Yogyakarta: LKIS.
Haris, Shoim. 2013. Gus Dur Menjadi Presiden Tahun 1999. http://politik.kompasiana.com/2013/01/16/gus-dur-menjadi-presiden-tahun-1999-520130.html.
Diakses pada 4 April 2013.
Mietzner, Marcus. 2006. The Politics of Military Reform
Post-Soeharto Indonesia.
Sujito, Arie. 2002. Gerakan Demiliterisasi Di Era Demokrasi: Peta
Masalah dan Pemanfaatan. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. 6, (1), 121-138.
_______________. 2012. Kepemimpinan di Masa Gus Dur. http://www.empatpilarkebangsaan.web.id/uncategorized/kepemimpinan-di-masa-gusdur.html.
Diakses pada 4 April 2013.
No comments:
Post a Comment