Wednesday, February 5, 2014

Politik Reformasi Militer di Indonesia Pasca Soeharto


Tanda-tanda Indonesia yang menunjukkan akhir dari masa transisi melihat banyak praktek orde baru yang mulai kearah politik demokrasi. Kegagalan Timor Timur dan pemilihan Abdurrahman Wahid sebagai penerus Habibie pada Oktober 1999 tampaknya melambangkan awal dari sebuah fase baru dalam politik post authotitarian di mana praktek-praktek tersebut tidak lagi diterapkan dalam bentuk tradisional, namun perlu berasimilasi dengan morma-norma dan aturan kompetisi demokrasi. Di atas kertas, kenaikan Abdurrahman Wahid ke kursi
kepresidenan meningkatkan prospek untuk percepatan reformasi sipil-militer. Untuk memulainya, pembentukkan eksekutif yang dipilih secara demokratis sejak 1955 menghapus segmen yang besar dari elit orde baru dari pemerintah. Akhirnya, presiden baru juga tampaknya memiliki mandat politik yang diperlukan untuk mempercepat reformasi militer. Abdurrahman Wahid secara luas dianggap sebagai pembaharu demokrasi, meskipun perannya controversial di akhir politik orde baru.
Pada bulan-bulan pertama di masa pemerintahannya, Wahid mengambil serangkaian langkah untuk melaksanakan control sipil terhadap militer dan mengendalikan tentara. Penggantian beberapa jenderal tentara yang telah naik ke permukaan dan menjadi terkenal di bawah pemerintahan Soeharto ditujukan untuk pemutusan dengan orde baru yang tidak dicapai Habibie. Wahid telah mengidentifikasikan Wiranto sebagai kendala utama reformasi militer lebih lanjut dan akibatnya menghancurkan jaringan patronase yang terakhir menyebar ke seluruh hirarki TNI. Dalam konteks ini, ia meminta kepercayaannya, Matori Abdul Djalil, ketua NU yang berafiliasi PBK (Partai Kebangkitan Bangsa), untuk datang dengan daftar perwira militer yang bisa diharapkan untuk memimpin dalam pembenahan struktur kelembagaan TNI. Indikasi yang paling penting dari keseriusan Wahid dalam mendorong reformasi angkatan bersenjata adalah dorongan dari perdebatan mengenai masa depan struktur komando territorial.
Lingkup upaya reformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya memicu fragmentasi elit militer yang paling ekstensif sejak Mei 1998. Pasukan kepemimpinan di sekitar Wiranto relatif homogen selama peralihan Habibie. Chandra dan Kammen (2002:114) mencatat bahwa fraksi yang dipimpin oleh Agus Wirahadikusumah hampir seluruhnya terdiri dari anggota militer angkatan 1973. Sikap reformis dari lulusan 1973 itu berupaya untuk mematahkan monopoli posisi teratas. Penjelasan ini dipertanyakan karena beberapa alasan. Pertama, sikap reformis Wirahadikusumah dan beberapa rekan-rekannya bisa ditelusuri kembali setidaknya ke 1980-an. Kedua, banyak reformis angkatan 1973, termasuk Wirahadikusumah, berada di jalur untuk promosi ke posisi senior ketika perpecahan dalam jajaran terjadi. Ketiga, beberapa tokoh lulusan tahun 1973tidak termasuk ke dalam kelompok reformis yang cepat, seperti Yudhoyono dan Ryamizard Ryacudu, yang menjadi anggota dari fraksi yang berbeda. Keempat, Chandra dan Kammen yang berlebihan penekanan pada teknis aspek pola promosi mengabaikan sikap politik dan pribadi perwira senior yang memncerminkan latar belakang keluarga individu, kondisi sosial ekonomi, dan perkembangan intelektual. Kombinasi faktor yang terakhir memainkan peran yang lebih besar dalam menentukan posisi konseptual dibandingkan dengan referensi yang tidak meyakinkan untuk perombakan pola.

CRITICAL REVIEW
Tulisan The Politics of Military Reform in Post-Soeharto Indonesia berisi tentang reformasi paska era Soeharto yang banyak menceritakan kebijakan presiden keempat Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid. Dalam masa transisi reformasi, presiden Abdurrahman Wahid seringkali mengeluarkan kebijakan yang berani dan cenderung kontroversial. Abdurrahman Wahid atau ang lebih dikenal dengan Gus Dur memiliki keputusan yang berani untuk mengubah sistem yang sudah ada. Arus reformasi, semenjak pergantian pemerintahan ke tangan Gus Dur, mengalami peningkatan dibandingkan era Habibie. Gebrakan-gebrakan yang dilakukan Gus Dur dapat dikatakan cukup berani dan spektakuler. Langkah terpentingnya dalam mewujudkan reformasi tercermin dari demiliterisasi politik. Kebijakan Gus Dur lebih kepada menghalau militerisasi untuk masuk ke ranah politik terlalu jauh. Gus Dur sepertinya berkeinginan untuk membangun serta memperbaiki konsep hubungan sipil dan militer, agar dapat mengedepankan demokrasi di Indonesia. Namun, usaha Gus Dur dalam menghalau militer dari ranah politik tidaklah mudah. Tantangan dan reaksi keras selalu beliau dapatkan dari berbagai pihak, baik dari sisi militer maupun dari politisi-politisi sipil. Adanya keterlibatan militer pada politik pada saat itu memang dapat terlihat dari kekerasan politik semasa pemerintahan sebelumnya, era Habibie. Seperti misalnya penempatan tank-tank Kostrad dan mariner di sekitar gedung MPR-DPR.
Salah satu kebijakan Gus Dur dalam control sipil adalah pergeseran posisi di tubuh militer, yaitu menempatkan Laksamana Widodo sebagai panglima TNI. Kebijakan ini dianggap sebagai upaya menciptakan tradisi baru dalam pengisian jabaan di tubuh TNI yang selama ini menjadi jatah Angkatan Darat. Menurut sejarah, posisi panglima TNI sejak proklamasi hingga orde baru selalu diperuntukkan ke Angkatan Darat. Sehingga muncul asumsi bahwa TNI AD berpeluang paling besar dalam mempolitisasi militer. Kebijakan lain adalah pencopotan Jenderal TNI Wiranto dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Kebijakan ini diambil karena Wiranto diduga terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Kebijakan tersebut dan tentu masih banyak kebijakan-kebijakan Gus Dur lainnya yang kontroversial membuat hubungan presiden dengan TNI semakin tegang. Puncaknya, ketika Agus Wirahadikusumah diangkat menjadi Pangkostrad, dianggap sebagai bentuk campur tangan presiden ke dalam urusan yang menjadi otoritas TNI.
Kebijakan-kebijakan Abdurrahman Wahid yang saat itu seringkali dikatakan “seenaknya sendiri” mungkin memang benar adanya. Gus Dur hampir selalu mengambil kebijakan tanpa mendapat persetujuan lembaga tertinggi militer, yaitu mabes TNI, dan juga tanpa persetujuan DPR.
Desakan kuat dari masyarakat yang tidak lagi menghendaki militer berpolitik sedikit mampu melahirkan reformasi di tubuh TNI. Berbagai fenomena yang terjadi sepanjang berlangsungnya reformasi internal TNI saat itu, sangat menarik untuk diteliti guna mengungkap keadaan yang sesungguhnya. Dalam konteks ini, muncul sejumlah asumsi menarik untuk dikembangkan. Misalnya mengenai bagaimana dan sejauh mana hubungan militer dengan gerakan reformasi, serta perubahan politik apa saja yang terjadi saat itu. Kaitannya dengan pola hubungan sipil-militer baru di Indonesia, diperoleh informasi bahwa kesadaran kalangan militer dalam melihat realitas masyarakat yang tidak lagi mendukung rezim kekuasaan orde baru pimpinan Soeharto, telah melahirkan kesepakatan kolektif untuk mendukung proses reformasi nasional secara konstitusional.
Meski hubungan sipil-militer saat itu berlangsung baik, dan terjadi proses saling memanfaatkan pada era reformasi, tampak supremasi sipil terhadap militer tetap tidak utuh. Hal itu terlihat dari besarnya ketergantungan otoritas sipil pada dukungan militer. Masih lemahnya supremasi sipil terhadap militer tersebut, terlihat dari sikap otoritas sipil pasca reformasi ketika senantiasa melibatkan militer dalam proses kebijakan politik nasional yang terkait dengan kepentingan militer. Di sisi lain, kondisi hubungan sipil-militer di Indonesia pasca soeharto (1998-2004) justru menunjukkan model baru hubungan sipil-militer. Hubungan sipil-militer seperti yang dipraktikkan oleh tiga pemerintahan pasca Soeharto, ternyata hanya melahirkan kendali sipil atas militer yang masih semu dan tidak mutlak, meskipun jauh lebih baik dari masa sebelum reformasi.
Segmentasi dalam kelompok militer pasca reformasi memunculkan proses saling tarik ulur di antara kelompok-kelompok dalam militer, sehingga dalam beberapa kasus memberi imbas pada munculnya fenomena-fenomena politik tertentu. Dominasi angkatan darat yang tidak sehegemonik pada zaman orde baru merupakan implikasi yang cukup penting dari kemunculan segmentasi dalam internal militer. Di sini  implikasi politis dari fenomena tersebut cukup menarik untuk dianalisa, Karena segmentasi itu pada kenyataannya juga memberi peluang kepada para elit politisi sipil untuk saling berebut dukungan politis dari kelompok militer tertentu. 
Dalam tulisan ini, penulis juga membahas mengenai jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan yang berimplikasi terhadap perubahan peta politik secara nasional. Gejolak politik pada masa presiden Abdurrahman Wahid serta kejatuhan pemerintahannya, merupakan salah satu fenomena politik yang lahir dari imbas dinamika internal militer. Hubungan pemerintah sipil masa Abdurrahman Wahid yang kurang harmonis dengan salah satu kelompok besar di militer, mengakibatkan kejatuhan pemerintahan yang tidak berumur lama itu. Naiknya megawati ke tampuk kekuasaan, memberikan harapan untuk memandu reformasi kea rah yang lebih baik, walau kenyataannya Megawati masih menyertakan ekspresi militer di beberapa kebijakannya.





Daftar Pustaka

Andrias, Mohammad Ali. 2011. Politik Militer Transisi Pasca Reformasi. http://mega.subhanagung.net/politik-militer-transisi-pasca-reformasi-kekuatan-politik-yang-menghiasi-perpolitikan-indonesia/. Diakses Pada 4 April 2013.
Idhom. 2005. Reformasi TNI. http://www.ruangbaca.com/resensi/?action =b3Blbg==&linkto=OTc=.&when=MjAwNTEyMDg=. Diakses pada 3April 2013.
Haramain, A. Malik. 2004. Gus Dur, Militer, dan Politik. Yogyakarta: LKIS.
Haris, Shoim. 2013. Gus Dur Menjadi Presiden Tahun 1999. http://politik.kompasiana.com/2013/01/16/gus-dur-menjadi-presiden-tahun-1999-520130.html. Diakses pada 4 April 2013.
Mietzner, Marcus. 2006. The Politics of Military Reform Post-Soeharto Indonesia.
Sujito, Arie. 2002. Gerakan Demiliterisasi Di Era Demokrasi: Peta Masalah dan Pemanfaatan.  Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 6, (1), 121-138.
_______________. 2012. Kepemimpinan di Masa Gus Dur. http://www.empatpilarkebangsaan.web.id/uncategorized/kepemimpinan-di-masa-gusdur.html. Diakses pada 4 April 2013.


No comments:

Post a Comment